Film Berbahasa Daerah Diminati
Film berbahasa daerah yang memotret realitas keseharian masyarakat diminati penonton sekaligus menjadi pengobat rindu masyarakat akan hiburan berbahasa daerah. Film juga membuat penonton mencintai bahasa daerahnya.
Hal ini terlihat dari animo masyarakat pada film berbahasa Batak Toba pertama yang berjudul Anak Sasada (Anak satu-satunya) yang diluncurkan pekan lalu. Film produksi Constellazione Entertainment yang disutradarai Pontyanus Gea itu dirilis dalam bentuk VCD berjumlah 50.000 keping dan diedarkan melalui 11 agen di Sumatera Utara dan sekitarnya serta di Jakarta. Selama sepekan produsen menyatakan film sudah terjual lebih dari 15.000 keping.
Sebelumnya Pontyanus juga telah meluncurkan film berbahasa Nias berjudul Ono Sitefuyu (Anak Sesat) dalam 11 episode dan terjual sebanyak 220.000 keping di Pulau Nias. Film membuat b anyak orang mencintai bahasa Nias dan tidak malu menjadi orang Nias, tutur Ponty
Dedy Hendra Simatupang (19) warga Tarutung, Tapanuli Utara mengaku terharu menonton film ini. Banyak ungkapan-ungkapan dalam bahasa daerah yang bagus, kata Dedy yang menonton ramai-ramai bersama teman-temannya . Selain itu film menampilkan realitas keseharian masyarakat. Michael Situmeang warga Samosir juga mengatakan film menyentuh karena menggunakan bahasa daerah keseharian yang tak bisa dilihat di televisi.
Film diproduksi dengan biaya sekitar Rp 400 juta dan dijual eceran Rp 30.000 untuk dua episode dalam satu paket berisi dua keping VCD. Pontyanus yang juga menjadi juru kamera dan editor dalam pembuatan film itu hanya menggunakan satu kamera untuk mengambil gambar.
Penulis skenario Anak Sasada Thomson HS mengatakan film berupaya memotret realitas yang terjadi pada masyarakat dalam dialog berbahasa daerah yang baik.
"Saya menambahkan cara pengucapan dalam skenario karena tidak semua pemain berbahasa Batak Toba," tutur Thomson yang juga sutradara Opera Batak itu. Bahasa diselaraskan oleh Batakolog Universitas HKBP Nommensen Manguji Nababan. Sedangkan para pemain film kebanyakan adalah seniman tradisi dalam Opera Batak.
Film menggambarkan kesenjangan ekonomi dan pendidikan pada masyarakat sub kultur Batak Toba. Film bercerita tentang seorang anak laki-laki yang yang bosan dengan kemiskinannya hingga pergi dari kampungnya di tepi Danau Toba menuju Kota Medan. Ia sempat menjual ulos keluarga untuk mendapatkan uang. Cerita bergulir pada kisah si anak di Kota Medan dan bagaimana orang tuanya yang ditinggalkan di kampung.
"Kami berharap akan ada lagi film-film independen dalam bahasa daerah lain seperti Simalungun atau Karo. Ini memang sebuah investasi yang cukup nekat," tutur Thomson.
Ponty, yang menyebut filmnya sebagai sinetron itu mengatakan berencana membuat film ini dalam empat episode. Sutradara kelahiran Nias yang tidak lulus Sekolah Dasar itu belajar film secara otodidak di Italia setelah ia bergabung dengan gerakan internasional Focolare.
Dalam film Ono Sitefuyu, Ponty bercerita tentang seorang anak yang memaksa orang tuanya menyekolahkan dirinya ke kota. Orang tua menjual tanah untuk membiayai sekolah si anak , namun si anak terjebak dalam pergaulan tak sehat sehingga sekolahnya gagal dan orang tuanya terjebak utang.
Testing